Whatisproject100, Jakarta – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan jumlah pegawai penyelenggara Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 sebanyak 84 orang.
Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan jumlah kematian pada pemilu 2019. Namun, Budi menilai satu nyawa sudah terlalu banyak.
“Meskipun jumlah korban tewas lebih dari 500 orang dibandingkan pemilu 2019, namun kini telah menurun secara signifikan. Sebelumnya, jumlah KPU (Hasyim Asy’ari) sebanyak 71 orang pada 14-18 (Februari), dengan 13 orang selain Bawaslu. Dengan demikian, total korban meninggal hingga saat ini berjumlah 84 orang, kata Budi dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Kesehatan, Senin (19/2/2024).
Angka tersebut mewakili sekitar 16 persen dari jumlah petugas pemilu yang meninggal pada 2019 sebelumnya, yakni lebih dari 500 orang.
“Dengan demikian, memang terjadi penurunan yang sangat tajam pada jumlah petugas pemilu yang meninggal dunia saat menjalankan tugas dibandingkan pemilu sebelumnya.”
“Tetapi kami melihat di pemerintahan, khususnya di Kementerian Kesehatan, satu kematian saja sudah terlalu banyak bagi kami. Banyak orang yang sedih. Jadi kami berpikir bagaimana kami dapat terus meningkatkannya? kata Budi.
Angka kematian memang turun lebih dari 80 persen, namun Budi ingin angkanya terus menurun.
“Bisakah kita turun, kalau bisa tidak ada yang mati. Hidup itu berharga.” Upaya dilakukan tahun ini
Budi mengatakan, beberapa hal telah dilakukan pada tahun ini untuk menghindari situasi seperti lima tahun lalu.
“Kami berterima kasih kepada Pak Gufron (Kepala BPJS) atas kerja yang dilakukan tahun ini. Kita lulus ujian agar pekerjaan kita tidak cepat sakit, kalau bisa bekerja, sehat dulu. Kondisinya masih sehat, tugas kita menjaga kesehatannya.”
Kementerian Kesehatan dan BPJS memeriksa 6,8 juta petugas pemilu. Diketahui 6,4 juta dari 6,8 juta penduduk berada dalam kondisi sehat, dan 400 ribu berada pada kelompok risiko tinggi.
“Yah, kebanyakan dari mereka masih buron.”
Budi juga mengatakan, hasil skrining menemukan penyakit berisiko tinggi yang paling banyak terdeteksi adalah hipertensi.
“Penderita hipertensi di Indonesia banyak sekali, jadi tolong kendalikan pola makannya, jangan terlalu banyak makan garam, gula, dan lemak.
“Angka hipertensi tertinggi kedua adalah detak jantung saat diperiksa BPJS. Ini dua terbesar.”
Sayangnya, masyarakat cenderung melakukan pengecekan setelah mendaftar sebagai penyelenggara pemilu.
“Yang kemarin sudah diperiksa, kita sudah tahu siapa yang sehat dan siapa yang tidak, tapi kita buru-buru mendaftar. Jadi, kami ingin melakukan perbaikan, maka kami perbaiki hingga berkurang lebih dari 80 persen. “Tetapi di masa depan, pada tahun 2029, kami ingin nol (kematian).”
Budi kini mempertimbangkan untuk meningkatkan screening untuk mengantisipasi kejadian serupa pada pemilu 2029.
“Saya sekarang sedang mempertimbangkan bagaimana kita akan menyelesaikan demonstrasi ini. Kalau bisa, saya ingin berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian), Ketua KPU dan menandatangani aturan baru sekarang. Kalau saya bisa meloloskan. pemeriksaan sebelumnya. registrasi.”
Dengan kata lain, Budi ingin agar dilakukan peninjauan kembali sebelum pejabat mendaftar menjadi penyelenggara pemilu ke depannya.
“Ada petugas pemilu yang bekerja lebih dari 12 jam, seperti prajurit Kopassus, pekerjaan ini khusus dan kerja keras. “Kami sebenarnya ingin mengusulkan agar kami duduk bersama Pak Tito dan Pak KPU, kalau bisa sebagai syarat (pendaftaran).”
“Pemeriksaan kesehatan merupakan syarat untuk menjadi perwira. Ini adalah langkah awal yang ingin kita lakukan agar mereka benar-benar fit dan sehat untuk menjadi petugas. “Jadi kalau bisa, kita bisa mengurangi (kematian).”
Kedua, memastikan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap tempat pemungutan suara (TPS) berisiko minimal enam jam sekali.
“Kedua, mereka bekerja lembur, jadi kami perkirakan masih bisa melakukan tes kesehatan keliling setiap 6 jam. Jadi kita perkirakan TPS-nya ada 823 ribu, padahal di tingkat kabupaten ada 10 ribu institusi kesehatan milik Kemenkes. “Apakah Puskesmas di suatu kabupaten bisa menampung TPS di kabupaten itu hanya untuk mereka yang berisiko tinggi, belum tentu semuanya.”
Skrining ini relatif mudah, kata dia, karena sudah diketahui risikonya, yakni penyakit jantung dan stroke. Jadi yang diperiksa adalah tekanan darah, detak jantung atau saturasinya. Pasalnya, sebagian korban meninggal karena gangguan pernapasan.
“Tiga hal sederhana, alatnya sudah ada dan semua petugas puskesmas sudah ada. Kami kemudian akan mencoba menghitung apakah ada petugas yang berisiko tinggi di TPS yang kami identifikasi. Kami memeriksanya setiap enam jam.”
“Jadi itu dua hal, skrining itu syarat jadi petugas lalu yang berisiko bisa diskrining enam jam sekali. Jadi tidak harus sakit, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati, cukup satu nyawa,” dia berkata.